INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

The Children Of Genghis (2017)

Selain kualitas, tiap perwakilan kagetori "Best Foreign Language Film" pada perhelatan Oscar semestinya bisa menjadi wajah industri perfilman, kultural, dan/atau sosial-politik suatu negara. The Children of Genghis mungkin bukan suguhan luar biasa, pula tanpa dobrakan pencapaian artistik. Namun selama menyaksikannya, kita dipaparkan pengetahuan, bahkan diajak mengagumi seluk beluk budaya, pemandangan, hingga suasana tenang nan menenangkan milik Mongolia. Inilah representasi yang akan membuat warganya besar hati akan khazanah negeri sendiri, sembari membuai publik luar dengan eksplorasi tanah yang ajaib bagi mereka. 

Ditulis sekaligus disutradarai oleh Zolbayar Dorj, kisahnya menetap dalam tumpuan dasar seputar anak yang bersedia melawan perintah orang bau tanah demi mengejar mimpi. Sang anak, Byamba (Dorjsambuu Dambii) kesal ketika hanya sang kakak, Uuganaa (Dorj Dambii) yang dipilih oleh instruktur kuda ternama, Bold (Batnairamdal Tsewegjaw) untuk berlomba di balapan kuda tahunan. Saat ayahnya (Batmend Baast) yang berasal dari keluarga instruktur hebat menolak kembali melatih kuda balap, Byamba pun nekat melaksanakan latihan sendiri di sela-sela rutinitas menggembala binatang ternak. 
Penanganan Dorj terhadap tema familiar tersebut memang tak keluar pakem, mengikuti rutinitas proses protagonis yang diawali sakit hati, berlatih diam-diam, menawarkan kemampuan, diketahui orang tua, pertengkaran, kemudian ditutup perdamaian dua sisi. Begitu pula kala alasan saingan sang ayah lagi-lagi masih terkait trauma berujung penyesalan jawaban insiden masa lalu. Pun dalam pembangunan intensitas, Dorj mengandalkan senjata klise berupa gerak lambat ditambah musik menggelora biar membuat kesan dramatis. Singkatnya, estetika sinematis The Children of Genghis nihil modifikasi. 
Namun, menyerupai telah disinggung, kekuatan terbesar filmnya yaitu representasi kultural. Balap kuda selaku satu dari tiga acara kultural turun temurun bersama memanah dan gulat diperkenalkan. Lebih lanjut, giliran visualnya berbicara. Sinemtagorafi Angarag Davaasuren piawai menangkap bentangan tanah lapang hijau Mongolia yang dikelilingi pegunungan, menyajikan kesegaran yang tidak saja memikat mata, pula menenangkan. Damai. Sementara busana tempat hingga tata artistik pembungkus setting beserta properti menguatkan kesan tradisional sembari melukiskan bentuk budaya menyerupai apa yang sedang kita saksikan, sebutlah ketika ibunda Byamba (Ankhnyam Ragchaa) berdoa di depan potret Genghis Khan (rute balap kuda didasari jalur yang diprakarsai sang tiran pada 1224).

Menariknya, di tengah kentalnya aspek kultural, The Children of Genghis menolak bersikap kolot. Kedatangan petugas UNICEF, Sarah (Brittany Belt) dalam rangka membagikan alat pengaman untuk akseptor balapan meski menerima saingan alasannya yaitu dianggap tak sesuai watak jadi media penyampaian pesan. Bahwa menjaga tradisi itu penting, tapi sentuhan modernisasi selama mengandung niat baik juga sepantasnya diterima. Perspektif Zolbayar Dorj inilah alasan The Children of Genghis tampil bermakna walau tanpa kemasan spesial. Jika itu pun gagal memikat anda, setidaknya tingkah lucu Nanzaa, si bocah 4 tahun putera bungsu keluarga Dambii bakal memancing senyum. 


Note: Diputar dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel