Download Movies Free The Shape Of Water (2017)
Guillermo del Toro menyebut The Shape of Water, yang membawanya meraih Oscar untuk Best Director (pun filmnya memenangkan Best Picture), selaku mulut atas hal-hal yang mengisi kekhawatirannya sebagai orang remaja khususnya soal cinta, sehabis dalam 9 film sebelumnya, del Toro mengunjungi mimpi serta ketakutannya semasa kecil. Mungkin ia takut dunia mulai kehabisan cinta. The Shape of Water diawali keinginan del Toro melihat kisah cinta antar-spesies Creature from the Black Lagoon (1954) berujung bahagia, pasca niat menciptakan remake-nya ditolak pihak studio. Dan terperinci ia menuturkan seluruh adegan dengan penuh cinta dan kelembutan.
Cinta yang dimaksud bukan cuma pada tataran romantis, pula tak hanya sesama manusia, tapi antar makhluk hidup. Elisa Esposito (Sally Hawkins) si protagonis perempuan merupakan tuna wicara yang menjadi petugas kebersihan di suatu laboratorium belakang layar milik pemerintah. Elisa bertetangga dengan Giles (Richard Jenkins), pelukis renta yang karirnya mentok, pula seorang gay. Menengok kondisi masing-masing, keduanya berhak merasa takut jikalau tidak ada lagi cinta bagi mereka. Alhasil ketika Elisa bertemu “Amphibian Man” (Doug Jones) yang dikurung, disiksa, dijadikan materi eksperimen laboratorium tempatnya bekerja, ia hanya ingin menyayangi makhluk malang yang juga sedang sendirian pula ketakutan ini.
Mengambil setting waktu kurun 60-an kala Perang Dingin, del Toro bersama Vanessa Taylor (Hope Springs, Divergent) menerima banyak bekal guna memberikan pesan melalui naskahnya. Inilah masa di mana kebencian, kecurigaan, ketakutan, segala emosi negatif memuncak. Narasi pada adegan pembuka—ketika kita dibawa menyelami “kamar bawah air” ditemani musik indah gubahan Alexandre Desplat—yang Jenkins bacakan mengandung kalimat “And the tale of love and loss, and the monster, who tried to destroy it all”. “Monster” di sini yaitu Kolonel Richard Strickland (Michael Shannon) yang keji sekaligus pelaku pelecehan, kubu Amerika dan Rusia yang hendak memanfaatkan bahkan membunuh si insan ikan, hingga pelayan cafe rasis pula homophobic.
Sejatinya isu-isu The Shape of Water masih relevan, tetapi pemakaian latar masa kemudian merupakan keputusan tepat. Membawanya ke tatanan modern berpotensi memunculkan distraksi. Penonton yang makin haus akan “film kritis” bakal condong memperhatikan gosip ketimbang kisah utama. Dengan begini, bermacam-macam unsur tersebut jadi sebatas subteks yang bersifat memperkaya, sementara sorotan utama tetap seputar romansa fantasi. Pun terkait latar lawasnya, musik Desplat bagai berasal dari suguhan klasik Hollywood; dreamy, kental nuansa fantasi yang memancarkan keindahan, harapan, pula imaji. Keindahan yang turut dihasilkan tim desain produksinya, termasuk dalam mengemas rumah Elisa yang menyerupai berasal dari dunia dark fairy tale, sesuatu yang sering jadi lahan bermain del Toro.
Saya membayangkan del Toro mengarahkan di lokasi dengan mata berbinar, tersenyum lebar, penuh aura positif. Adegan pembuka dan epilog yang puitis itu takkan bisa dihasilkan oleh laki-laki pemurung. Tentunya ia pun dianugerahi daya kreasi plus imajinasi tinggi, yang terbukti ketika momen musikal “dadakan”mulai mengisi. Momen yang diawali serta diakhiri oleh transisi cerdik nan rapi guna mewakili isi hati Elisa, huruf yang jadi media Sally Hawkins memberikan makna ketulusan dalam berakting. Hawkins memberi performa yang bisa seketika mencuri perasaan penonton hanya melalui senyuman. Sewaktu Elisa berbahagia, saya berbahagia. Sewaktu Elisa jatuh cinta, cinta itu turut menjangkiti perasaan saya.
Bagi Guillermo del Toro, cinta berbentuk menyerupai air. Tidak bisa didefinisikan, namun keberadaannya senantiasa mengisi ruang-ruang kosong, kemudian berubah menyesuaikan wujud ruang tersebut. Kita butuh film-film semacam The Shape of Water. Film yang selain membicarakan cinta, turut dibentuk dengan cinta, tanpa melupakan pentingnya sisi estetika.